08 May 2008

Malaikat dari India

Istriku berkata kepadaku yang sedang membaca Koran, "berapa lama lagi kamu akan membaca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan". Aku meletakkan Koran yang kubaca dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya Sindu, tampak ketakutan. Air matanya membanjir, didepannya ada semangkuk nasi berisi nasi yogurt (curd rice, khas India).

Sindu anak yang manis dan tergolong anak pintar dalam usianya yang baru delapan tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice akan terjadi "cooling effect".

Aku mengambil mangkok dan berkata, "Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan berteriak-teriak kepada ayah". Aku bisa merasakan istriku cemberut dibelakang punggungku.

Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya dan menjawab, "baik ayah, akan saya makan curd rice ini, tidak hanya beberapa sendok melainkan semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta .." ia agak ragu-ragu sejenak, lalu melanjutkan, "saya akan minta sesuatu pada ayah bila saya sanggup menghabiskan semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji untuk memenuhi permintaan saya?"

Aku menjawab, "pasti sayang." Sindu bertanya sekali lagi, "betul, ayah?"

"Ya, pasti" jawabku sambil menggenggam tangan anakku yang lembut sebagai tanda setuju. Sindu juga mendesak ibunya untuk menjanjikan hal yang sama. Istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, "janji."

Aku sedikit khawatir, "Sindu jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal ya, karena ayah saat ini tidak punya uang."

Sindu menghilangkan kekhawatiranku, "jangan khawatir, Sindu tidak meminta barang-barang yang mahal, kok." Ia, kemudian, dengan perlahan-lahan dan kelihatan sangat menderita, menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku, aku marah kepada istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.

Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap. Semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata, Sindu meminta kepalanya digunduli pada hari minggu. Istriku spontan berkata, "permintaan gila, anak perempuan kok dibotakin, tidak mungkin." Juga ibuku menggerutu.

Aku coba membujuk, "Sindu, kenapa kamu tidak meminta hal-hal yang lain? kami semua akan sedih jika melihatmu botak." Tapi Sindu tetap dengan pilihannya, "tidak ada, 'yah, tak ada keinginan lain" kata Sindu. Aku coba memohon kepada Sindu, "tolonglah, nak. Kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami?"

Sindu dengan menangis menyahut, "bukankah ayah sudah melihat bagimana menderitanya saya menghabiskan nasi itu dan ayah juga sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya, kenapa ayah sekarang mau menjilat ludah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi, seperti Raja Harishchandra yang untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta, bahkan nyawa anaknya sendiri?"
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku. Secara serentak istri dan ibuku bertanya apakah aku sudah gila. Aku menjawab bahwa kalau kita menjilat ludah sendiri, Sindu tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. "Sindu, permintaanmu akan kami penuhi." aku memutuskan. Dengan kepala botak, wajah Sindu tampak bundar dan matanya terlihat besar dan bagus.

Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba-tiba seorang anak lelaki keluar dari mobil sambil berteriak, "Sindu, tolong tunggu saya!" Aku terkejut, bukan karena teriakan tetapi, ternyata, kepala anak lelaki itu juga botak. Aku berpikir mungkin "botak" model jaman sekarang.

Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata, "anak anda, Sindu, benar-benar hebat. Anak lelaki yang jalan bersamanya sekarang adalah anak saya, Harish, dia menderita kanker leukemia," wanita itu berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu, "bulan lalu Harish tidak mau masuk sekolah. Pengobatan chemotherapy membuat kepalanya menjadi botak. Dia tidak mau pergi ke sekolah karena takut diejek oleh teman-teman sekelasnya. Nah, minggu lalu, Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi, hanya saja, saya betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia."

Aku berdiri terpaku dan mulai menangis. Malaikat kecilku telah mengajariku tentang kasih.

(dikutip dari cerita yang beredar di berbagai milis)

No comments:

About Me

My photo
Pengagum Leonardo Da Vinci dan Socrates, mencoba hidup tidak sederhana dengan prinsip agar semua orang mengenali dirinya. Penderita diabetes yang ingin menjalani hidup dengan kondisi itu
fye.com f.y.e 468x60
Powered By Blogger